Biografi Singkat - Linus Torvalds



Keajaiban itu berawal di kota Helsinki, ibu kota Finlandia. Kalau kita buka peta, kota ini letaknya dekat dengan kota St. Petersburg, Rusia. Ini agaknya membuat iklim keduanya pun tidak jauh berbeda. Begitu ekstrim. Jika musim panas datang, matahari bersinar seolah tidak kenal henti. Sementara saat musim dingin, matahari hanya bersinar beberapa jam saja setiap harinya. Sisanya udara yang dingin dan langit yang gelap. Di tengah cuaca inilah Linus Benedict Torvalds, perintis Linux, lahir.

Kota yang begitu dekat dengan laut Baltik ini memang mirip kota kecil. Begitu sedikit bangunan tinggi, dan jalannya pun lebar. Orang di sana juga masih senang memelihara pepohonan di sekitarnya. Di kota yang tenang seperti itulah Linus lahir pada 28 Desember 1969, sebagai putra Nils dan Mikke Torvalds. Linus terlahir sebagai anak yang unik. Soal namanya sendiri misalnya. "Orang jarang pakai nama itu", kata Linus, seperti dikutip Glyn Moody, penulis Rebel Code. Kalau dihitung, memang ada beberapa nama Linus yang terkenal yang mungkin jadi sumber inspirasi keluarganya.

St Linus, Linus Yale (yang mendirikan Uninersitas Yale di AS), adalah salah satunya. Tapi agaknya nama pemenang nobel kimia dan perdamaian, Linus Pauling, yang menginspirasi mereka. "Saya pikir nama saya malah berasal dari karakter Linus di kartun Peanut",  candanya. Sedangkan Torvalds sendiri merupakan nama klan yang diberikan kakeknya. Ini gara-gara sang kakek ogah menggunakan nama klan kakek buyutnya. Jadi nama Torvalds pun sama-sama sedikitnya. "Hanya Ayah, Paman, Ibu, saya dan adik saya yang menggunakannya".

Lengket Ke Komputer Lelet
Selain soal nama, keunikan Linus juga kerena ia sendiri merupakan satu dari sedikit remaja di Helsinki yang di usia belianya sudah begitu menyenangi komputer. Saat kakeknya (dari Ibu) yang ahli statistik di Universitas Helsinki membeli komputer Commodore Vic-20, ia sudah diajak sang kakek untuk bantu-bantu. Kecepatan komputer itu hanya 1 MHz, lebih dari sepertiga ribu kali komputer saat ini. Hal itu masih segar di ingatan Linus. "Mungkin ia ingin saya belajar. Ya, saya bantu dan selain itu saya pun mengerjakan bagian saya sendiri di dalamnya", katanya.

Dua tahun ia berkutat dengan pemrograman BASIC di Vic-20, ia muali mempelajari bahasa tingkat rendah (low level code). Jenis bahasa ini membuat komputer lebih gampang bekerja, namun membuat programmer berpikir lebih keras. Ada sekitar tiga tahun ia menekuni pemrograman dengan bahasa assembly. "Waktu itu saya tidak tahu ada assembler (program yang membuat pemrograman dengan assembly jadi lebih mudah). Jadi saya harus melakukannya (dengan pemahaman) sendiri", ingatnya. Bukan karena semata-mata suka, tapi awalnya karena ia sendiri tidak mampu untuk meng-upgrade komputernya. "Ya bagaimana lagi? Kalau Anda harus membuat game di prosesor selambat itu, mau nggak mau Anda harus habis-habisan memahaminya", semburnya.

Linus memang terpaksa harus selalu men-tweak ulang setiap kali performa komputernya drop. Kebiasaan seperti inilah yang membuatnya pintar untuk menyiasati performa komputer kelas rendah. Ini pula yang membuat Linux nantinya menjadi program komputer yang mampu berjalan optimal di komputer dengan spesifikasi minimum.
Sampai akhirnya ia mendapatkan Sinclair QL, komputer bikinan Sir Clive Sinclair. Mesin itu mengajarinya hal lain, yaitu multitasking. Prinsip multitasking juga mengispirasinya dalam mengembangkan Linux kelak. Keasyikannya dengan komputer membuatnya kurang percaya diri dengan kehidupan sosial. Ini begitu tersa saat ia memasuki jurusan komputer Universitas Helsinki. Tahun itu usianya baru 19 tahun.
"Saya benar-benar pemalu, bahkan untuk berbicara di depan kelas. Saya nggak mau angkat tangan dan bicara soal apapun", kenangnya. Toh, ia memiliki teman. Lars Wirzenius adalah salah satu yang dekat dengannya. Kegemaran mereka sama : komputer. Setelah tahun pertama di kampus, mereka harus mengikuti public service dengan mengikuti pelatihan kepemimpinan. Di dalamnya, Linus belajar untuk menangani kelompok sebagai sebuah unit kerja yang solid. Ini juga bekalnya untuk menangani model pengembangan software di komunitas Linux kelak. Seolah semua jalan sudah mengarahkannya ke sana.
Usianya belum genap 21 tahun saat itu, ia kembali kuliah di tahun 1990 dan mulai menyenangi sistem operasi Unix yang terinstal di laboraturium komputer di Universitas Helsinki. Sebagaimana sistem operasi, Unix saat itu adalah yang paling stabil dan menjadi acuan industri komputer. Selama berbulan-bulan ia dan rekannya Lars Wirzenius mempelajarinya. Tapi mereka hanya bisa melakukannya di kampus, karena Unix bukanlah sistem operasi yang murah. Sehingga di rumah Linus hanya bertemu dengan mesin Sinclair QL-nya.

Ia akhirnya mulai melirik Minix, klon Unix yang daoat berjalan di PC, untuk membantunya memperdalam pemahaman mengenai Unix. Bukan kebetulan, buku yang ia pesan "Operating System", karya Andre Tannenbaum, yang berisi latihan penulisan sistem operasi, juga menyertakan Minix sebagai bahan latihanya.

sambil menanti pesanannya, Linus membeli PC pada 5 Januari 1991 dari uang hadiah Natal. "Spesifikasinya 386, DX33, memorinya 4MB dan harddisk 40MB", kenang Linus. "Saya terpaksa menjalankan DOS untuk beberapa bulan sebelum disket-disket Minix tiba", ujarnya. Dan Linus mulai bermain-main dengan alat pemrograman DOS di PC. Ini juga merupakan Linus memahami arsitektur komputer berprosesor Intel. 

Linus mengingat saat-saat itu. "Januari - Februari saya habiskan 70% untuk itu dan sisanya untuk bermain game Prince of Persia". Akhir Maret 1991 pesanannya tiba dan ia menginstal Minix ke komputernya. Bukan tanpa kendala, tapi toh ia memang seseorang dengan kemampuan belajar yang cepat. Dengan bergabung ke milis comp.os.minix, ia pun belajar banyak untuk semakin mengenali klon dari Unix ini. Apalagi, source code dari Minix memang terbuka, jadi ia bisa mngetahui kerja sistem operasi itu dan bisa memperbaiki berbagai bug yang ada. Ia ingin membuat Minix miliknya menjadi lebih baik dan sesuai dengan kebutuhannya. Namun, tetap ada berbagai bug yang membuatnya tiba-tiba saja berpikir : "Membuat sistem operasi lain yang prinsip kerjanya mirip dengan Minix? Mengapa tidak?" Toh berkat buku Tannenbaum, pengetahuannya soal penulisan sistem operasi sudah lumayan. Pemikiran tersebut merupakan langkah pertamnya untuk merintis apa yang kini orang kenal sebagai "Linux".

Buggis, Freax dan Egomaniak
Kebetulan, masa libur musim panasnya tiba. Walupun teorinya cuma tiga bulan yaitu Juni - Agustus, pada praktiknya, kuliahnya libur sejak pertengahan Mei - pertengahan Sptember. Praktis, Linus punya waktu yang sangat luang untuk memulai proyeknya. "Awal liburan itu saya coding 10 jam sehari, 7 hari seminggu", ungkapnya. Dalam dua bulan kemudian, Linus membuat banyak kemajuan. Atas bantuan sejawatnya, Ari Lemmke, ia pun mendapat tempat di FTP server milik universitas. Sehingga, kalau-kalau Linus akan merilis proyeknya itu, orang bisa segera men-download-nya. "Ia (Lemmke) membuat folder /pub/os/linux (di server nic.funet.fi)", kata Linus. Nama Linux sebenarnya nama sementara, karena Linus tidak ingin disebut egomaniak dengan memberi nama proyeknya mirip dengan nama aslinya itu. Ia berencana mengubahnya.

Di saat-saat sulit, Linus kadang menyebutnya dengan sebutan "Buggix", karena programnya memang masih dipenuhi bug. Pernah juga terlintas di kepalanya nama seperti Freax, yang merupakan gabungan kata dari freak, free, dan x. "Gila memang", tuturnya. Tapi Lemmke menolak semua alternatif nama yang Linus tawarkan. Walu belum ada isinya, nama folder itu tidak pernah berubah, bahkan hingga ia mengumumkan proyek kecilnya itu ke milis pengguna Minix, pada Minggu, 25 Agustus 1991. Orang mengingat hari itu sebagai hari yang sangat berarti bagi sejarah Linux.

"Hello semua pengguna Minix. Saya sedang mengerjakan sebuah sistem operasi (free) untuk kloning 386 AT. Cuma hobi kok, tak akan besar dan profesional seperti GNU. saya mengerjakannya sejak April dan kini sudah mulai siap. Saya ingin tahu (fitur) apa yang Anda ingin/tidak inginkan dari Minix, karena sistem operasi saya sedikit banyak memang mirip dengan Minix. ...Saran Anda pasti saya terima, tapi belum tentu saya implementasikan, lho :-)", tulisnya kira-kira kalau kita terjemahkan ke dalam dialog bahasa Indonesia kita.

Para hacker di seluruh dunia mulai meresponnya dan bersedia untuk menjajal hasil kerja Linus itu. September 1991, Linux 0.0.1 keluar sebagai versi beta dan Linus menaruhnya di server Universitas yang telah disiapkan tadi. Toh Linus tetap saja belum percaya diri. Ia hanya merilisnya pada sekitar 10 - 15 hacker yang merespon e-mail-nya tempo dulu.>

Kopi Ketemu Gula
Sejak itu, respon dari bug fix terus berdatangan. Para hacker bergotong royong menghidupkan Linux. Linus pun secara bertahap menyortir semua itu dan menyatukannya menjadi rilis terbaru Linux. Update pun menjadi sedemikian sering. Toh, apa yang dikerjakan Linus belumlah bisa disebut sistem operasi yang lengkap, karena yang ia bangun hanyalah kernel dari sistem operasi. Agar bisa benar-benar berfungsi, orang memerlukan program-program lainnya seprti shell, compiler, library, dan sebaginya. Dan Linus menunjuk software berbendera GNU sebagai aplikasi yang sering ia pakai dengan Linux.

Ya, pada saat yang sama Richard Stallman dan Free Software Foundation-nya memang tengah menyusun sebuah sistem operasi lengkap yang mirip dengan Unix, namun free. Mereka namakan proyeknya sebagai GNU (GNU's not Unix).  Berbeda dengan Linux, sejak 1984 mereka mulai dengan menyusun berbagai aplikasi dan library-nya dulu. Sementara kernelnya sendiri, Hurd, belum selesai (menurut informasi hingga tahun 2002 masih belum selesai).

Bagai kopi ketemu gula. Para hacker dan pemakai software GNU menginstal Linux dan menyatukannya dengan software GNU. Bagi Stallman, ini sebuah keajaiban yang menolong tegaknya perjuangan free software yang digagasnya. Mimpinya akan free software yang mandiri terwujud berkat Linux. Begitulah sistem operasi GNU/Linux pun lahir. Memang orang sering menyebutnya sebagai Linux belaka. Tetapi akan kurang fair rasanya bila kita menanggalkan peran Richard Stallman dan inisiatif GNU-nya dari sana.

GNU/Linux terus berkembang seiring bertambahnya para pemakai komputer yang menggunakannya. Apalagi, walaupun copyright Linux tetap berada di tangannya, Linus membolehkan orang untuk menyalin, menggunakan dan mendistribusikan Linux secara bebas, bahkan gratis. Ya, Linus memang menggunakan GPL (GNU General Public License).
Melepas Linux secara cuma-cuma adalah satu-satunya keputusan terbaik yang pernah saya buat", katanya dalam wawancara dengan FirstMonday, sebuah jurnal di internet. Berbagai distribusi (distro) GNU/Linux lantas lahir dan berkembang menjadi perusahaan besar. Red Hat dan Mandrake adalah salah satu yang merenguk keuntungan dari pasar yang mulai terjangkit GNU/Linux.
Walau angka pengguna GNU/Linux sendiri belum terpetakan, namun di akhir 90-an, orang melihat GNU/Linux sebagai ancaman serius bagi sistem operasi Windows. Bahkan para pejabat Microsoft sendiri agaknya kebakaran jenggot. Hal itu tampak dari dokumen Haloween yang tak sengaja tersebar ke publik, yang berisi strategi mereka untuk mematikan Linux.

Berbeda dengan para aktivis Free Software atau Open Source yang bersuara sangar, Linus sendiri menyikapi hal itu dengan tetap low-profile. Ia dengan segala kerendahan hati dan jiwa sosialnya, melepaskan semua itu pada komunitas Linux.Meninggalkan hiruk pikuk seperti itu (tetapi tidak meninggalkan Linux), Linus memilih tantangan lain dengan menikahi wanita jago karate Finlandia, Tove Torvalds. Dua orang putrinya Patricia Miranda dan Daniela lahir kemudian. Lantas kemudian Linus memboyong keluarganya ke Amerika, tempat Microsoft berdiri.

 Sumber

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.