Masih teringat oleh saya, ketika komunitas open source Indonesia pada tahun 2000-an meluncurkan distro pertama. Banyak pihak yang meremehkan dan menganggap bahwa pem-buatan distro Linux itu tidak bermanfaat bagi perkembangan industri TI di Indonesia. Bahkan dengan nada meremehkan beberapa pakar TI di Indonesia menyatakan bahwa pekerjaan membuat distro itu cuma sekadar memaketkan saja, tidak ada nilai tambahnya.
Para pakar TI itu beranggapan dari pada membuang-buang waktu mengembangkan distro sendiri, lebih baik fokus menjadi reseller atau penyedia support dari distro-distro besar saja. Memang memahami visi itu lebih sulit dari sekadar menguasai hal teknis.Ketika developer Indonesia memutuskan berani membuat distro sendiri, berarti developer didorong harus belajar lebih banyak lagi.
- Pertama, belajar mandiri agar tak bergantung kepada vendor luar.
- Kedua, belajar memahami kebutuhan sendiri yang dapat diimplementasikan di dalam distro yang dibuat tersebut.
- Ketiga, belajar siklus pengembangan secara lengkap termasuk pengetahuan teknis bagaimana proses kerja sistem operasi dan aplikasi secara keseluruhan termasuk optimasinya.
- Keempat, belajar menyediakan support untuk distro yang dikembangkan tersebut.
Selanjutnya para developer Indonesia juga belajar bagaimana agar pengembangan distro itu dapat berjalan secara berkesinambungan. Suatu proses pembelajaran yang mengakselerasi penguasaan pengetahuan dalam pengembangan teknologi informasi di Indonesia. Proses inilah yang disebut penyiapan infrastruktur sosial, yang sering dilupakan dalam mengembangkan TI.
Hal di atas bukan saya simpulkan tanpa alasan, tapi berdasarkan pengalaman terlibat dalam lingkungan pengembang distro di Indonesia. Saat awal berusaha mengembangkan distro lengkap di Indonesia, dengan kerja sama melalui Trustix Asia, didatangkan developer dari Trustix Norwegia untuk menularkan pengetahuannya kepada pengembang lokal. Dari sinilah pengetahuan itu menyebar karena pengetahuan tersebut bersifat bebas terbuka. Source code dari distro selalu tersedia, sehingga memudahkan proses penyebaran pengetahuan itu tanpa terbatasi institusi, artinya tidak hanya diketahui oleh perusahaan tertentu, organisasi tertentu, atau lembaga pendidikan tertentu saja.
Pengembang lokal lainnya yang tertarik mengoprek dapat membuat distronya sendiri atau bergabung dalam pengembangannya. Bahkan mereka dapat belajar secara terbuka, bagaimana membuat dan mengustomisasi distro tersebut. Siapa yang ingin belajar dan turut serta, terbuka secara luas, tanpa perlu mendaftar, terikat lisensi, atau menandatangani Non Disclosure Agreement (NDA) seperti ketika melibatkan vendor proprietary. Setelah pengetahuan membuat distro itu sekarang tersebar luas, maka bertumbuhlah kelompok pengembang distro. Kelompok pengguna Linux tingkat kampus, termasuk kampus PTS di luar Jawa sudah dapat membuat distro sendiri.
Sumber : Majalah InfoLinux 04/2009 Hal 8
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.